Suara rintik air hujan berdendang di sore hari tatkala senja menghampiri. Awan
hitam menutup hamparan langit jingga Sang senja yang dikagumi oleh Kanaya.
Kanaya berdiri menghadap jendela rumah bersama secangkir
teh dalam genggamanya. Kanaya menatap
hujan. Bola matanya yang berwarna hitam memancarkan sendu tak berwarna.
Pancaran mata yang memikirkan hal yang mengusik pikiranya. Ia menatap hujan
yang digemari manusia-manusia di muka bumi. Hujan yang berisi harapan, kebahagian
dan kesejukan bagi mereka yang senang terhadapnya Namun, bagi Kanaya suara itu
berbeda. Bagi Kanaya hujan adalah histori yang mendekap dalam hati yang ingin
dilupakan. Jika setiap rintik air hujan itu bisa dibuat tak bersuara maka
Kanaya akan lakukan hal itu. Namun, Kanaya
tak dapat menahan hujan.
Tatkala hujan berhenti gadis berambut ikal dengan wajah tak berekspresi ini pun berangkat menuju perpustakaan kampus. Ia adalah salah satu mahasiswi jurusan kedokteran di Universitas adidaya Yogyakarta. Ketika Kanaya memasuki kampus. Laki-laki yang tidak kalah bersikap dingin dari Kanaya pun mengampiri Kanaya yang sedang berdiri di depan loker. Laki-laki itu bernama Ardi teman satu angkatan dan kepala dari Badan Eksekutif Mahasiswa meski bersikap dingin kepada beberapa orang tapi hal itu tidak berlaku untuk Kanaya meski diacuhkan.
“Naya? Gak masuk mata kuliah pagi tadi?” ucap Ardi.
“Engga. Kenapa?” ucap Kanaya.
“Gak papa. Jangan lupa besok ikut ke daerah gempa”
Kanaya pun tersenyum seraya mengiyakan perkataan Ardi.
Keesokan harinya mahasiswa dan mahasiswa yang terpilih
untuk kerja lapangan ke daerah terkena bencana gempa pun telah siap. Mereka
akan membantu mengecek kesehatan dan memberikan donasi terkecuali Kanaya. Hujan
turun dan Ardi tau mengapa Kanaya tidak hadir. Ardi pun menyuruh semuanya
berangkat dan Ardi akan menyusul. Ardi mencari Kanaya ke setiap sudut kampus.
Hingga Ardi melihat Kanaya yang sedang duduk di kantin dengan secangkir teh
dalam genggamanya.
“Naya? Kita semua tuh nyariin kamu !” ucap Ardi.
Kanaya hanya diam seraya menghela nafas, tatapan matanya tak lepas melihat ke arah secangkir
teh di hadapanya.
“Naya? Saya tau saya bersikap dingin tapi setidaknya saya
gak jauh lebih dingin dari hujan yang kamu benci itu” ucap Ardi seraya menarik
tangan Kanaya hingga mereka berdua kehujanan.
Kanaya tampak kesal lalu berkata “ Norak !” menampar Ardi
lalu pergi.
“Kanaya pengecut kamu ! “ ucap Ardi sambil mengejar
Kanaya.
Kanaya yang mendengar hal itu pun berbalik arah
menghampiri Ardi.
“Maksud kamu?” ucap Kanaya.
“Kamu cuman bisa menyalahkan dan menghindari hujan kalo
bukan takut berarti pengecut”
“Kamu tidak mengerti apapun yang saya rasakan. Kamu
pernah kehilangan dua orang sekaligus dalam hidup? Ayah pergi saat hujan
datang. Kenzi bersama yang lain di waktu yang sama dan kamu tau apa?”
“Setidaknya saya tidak pergi saat hujan”
Kanaya hanya terdiam.
“Kamu hanya melihat satu rintik air hujan tanpa melihat rintik
air hujan yang lain. Kamu hanya berhenti di satu rintik hujan” ucap Ardi.
Tak ada yang salah pada hujan. Itulah setidaknya yang ingin Ardi sampaikan
kepada Kanaya. Hujan tetaplah seperti yang manusia di bumi lainnya katakan.
Hujan adalah harapan, kebahagiaan, keberkahan, dan kesejukan yang Sang Pemilik
Alam Semesta berikan. Setiap rintiknya sangat dikagumi dan dinantikan sebagian
orang.
Kanaya pun sadar. Tak ada yang harus disalahkan antara hujan dan waktu.
Keduanya hanya memang hadir ketika harus hadir. Begitu pula dengan Ayah dan
kenzi. Mereka hanya memang harus pergi
ketika saatnya pergi dan ada saatnya ketika memang harus dimiliki dan tak
dimiliki, lalu mengikhlaskan ketika sudah waktunya. Kini Kanaya tak lagi kecewa
saat hujan. Ia menikmatinya bersama Ardi. Ia
mulai memaknai hujan diatas awan hitam yang menyimpan keindahan
setelahnya.
SELESAI
Telah diterbitkan dalam Buku Analogi Sceret Melody by Sahabat Literasi
More Info https://www.instagram.com/literasi.sahabat/
Telah diterbitkan dalam Buku Analogi Sceret Melody by Sahabat Literasi
More Info https://www.instagram.com/literasi.sahabat/
Komentar
Posting Komentar