Langsung ke konten utama

Bernarasi : Cerpen Senandung Hujan



Suara rintik air hujan berdendang di sore hari tatkala senja menghampiri. Awan hitam menutup hamparan langit jingga Sang senja yang dikagumi oleh Kanaya.
Kanaya berdiri menghadap jendela rumah bersama secangkir teh dalam genggamanya.  Kanaya menatap hujan. Bola matanya yang berwarna hitam memancarkan sendu tak berwarna. Pancaran mata yang memikirkan hal yang mengusik pikiranya. Ia menatap hujan yang digemari manusia-manusia di muka bumi. Hujan yang berisi harapan, kebahagian dan kesejukan bagi mereka yang senang terhadapnya Namun, bagi Kanaya suara itu berbeda. Bagi Kanaya hujan adalah histori yang mendekap dalam hati yang ingin dilupakan. Jika setiap rintik air hujan itu bisa dibuat tak bersuara maka Kanaya akan lakukan hal itu.  Namun, Kanaya tak dapat menahan hujan.

Tatkala hujan berhenti gadis  berambut ikal dengan wajah tak berekspresi ini pun berangkat menuju perpustakaan  kampus. Ia adalah salah satu mahasiswi jurusan kedokteran di Universitas adidaya Yogyakarta. Ketika Kanaya memasuki kampus. Laki-laki yang tidak kalah bersikap dingin dari Kanaya pun mengampiri Kanaya yang sedang berdiri di depan loker.  Laki-laki itu bernama Ardi teman satu angkatan dan kepala dari Badan Eksekutif Mahasiswa meski bersikap dingin kepada beberapa orang tapi hal itu tidak berlaku untuk Kanaya meski diacuhkan.

“Naya? Gak masuk mata kuliah pagi tadi?” ucap Ardi.
“Engga. Kenapa?” ucap Kanaya.
“Gak papa. Jangan lupa besok ikut ke daerah gempa”
Kanaya pun tersenyum seraya mengiyakan perkataan Ardi.

Keesokan harinya mahasiswa dan mahasiswa yang terpilih untuk kerja lapangan ke daerah terkena bencana gempa pun telah siap. Mereka akan membantu mengecek kesehatan dan memberikan donasi terkecuali Kanaya. Hujan turun dan Ardi tau mengapa Kanaya tidak hadir. Ardi pun menyuruh semuanya berangkat dan Ardi akan menyusul. Ardi mencari Kanaya ke setiap sudut kampus. Hingga Ardi melihat Kanaya yang sedang duduk di kantin dengan secangkir teh dalam genggamanya.

“Naya? Kita semua tuh nyariin kamu !” ucap Ardi.
Kanaya hanya diam seraya menghela nafas, tatapan  matanya tak lepas melihat ke arah secangkir teh di hadapanya.
“Naya? Saya tau saya bersikap dingin tapi setidaknya saya gak jauh lebih dingin dari hujan yang kamu benci itu” ucap Ardi seraya menarik tangan Kanaya hingga mereka berdua kehujanan.
Kanaya tampak kesal lalu berkata “ Norak !” menampar Ardi lalu pergi.
“Kanaya pengecut kamu ! “ ucap Ardi sambil mengejar Kanaya.
Kanaya yang mendengar hal itu pun berbalik arah menghampiri Ardi.
“Maksud kamu?” ucap Kanaya.
“Kamu cuman bisa menyalahkan dan menghindari hujan kalo bukan takut berarti pengecut”
“Kamu tidak mengerti apapun yang saya rasakan. Kamu pernah kehilangan dua orang sekaligus dalam hidup? Ayah pergi saat hujan datang. Kenzi bersama yang lain di waktu yang sama dan kamu tau apa?”
“Setidaknya saya tidak pergi saat hujan”
Kanaya hanya terdiam.
“Kamu hanya melihat satu rintik air hujan tanpa melihat rintik air hujan yang lain. Kamu hanya berhenti di satu rintik hujan” ucap Ardi.

Tak ada yang salah pada hujan. Itulah setidaknya yang ingin Ardi sampaikan kepada Kanaya. Hujan tetaplah seperti yang manusia di bumi lainnya katakan. Hujan adalah harapan, kebahagiaan, keberkahan, dan kesejukan yang Sang Pemilik Alam Semesta berikan. Setiap rintiknya sangat dikagumi dan dinantikan sebagian orang.
Kanaya pun sadar. Tak ada yang harus disalahkan antara hujan dan waktu. Keduanya hanya memang hadir ketika harus hadir. Begitu pula dengan Ayah dan kenzi. Mereka  hanya memang harus pergi ketika saatnya pergi dan ada saatnya ketika memang harus dimiliki dan tak dimiliki, lalu mengikhlaskan ketika sudah waktunya. Kini Kanaya tak lagi kecewa saat hujan. Ia menikmatinya bersama Ardi. Ia  mulai memaknai hujan diatas awan hitam yang menyimpan keindahan setelahnya.

                                                SELESAI




Telah diterbitkan dalam Buku Analogi Sceret Melody by Sahabat Literasi 
More Info https://www.instagram.com/literasi.sahabat/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mini Cafe Di Suatu Hari

Bersatunya Mini Cafe dan Studio sumber :  https://www.instagram.com/di.suatu.hari/ Hai, Readers!  Di zaman sekarang ini banyak sekali cafe-cafe atau tempat-tempat makan yang memiliki design kekinian untuk meningkatkan ketertarikan pelanggan. Bagi teman-teman gen Milenials pastinya kegiatan berfoto menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan ketika sedang berkegiatan salah satunya saat kumpul atau nongkrong di sebuah cafe.     Salah satunya cafe yang membuat Aku jatuh cinta pada pandangan pertama yaitu,  cafe disuatu hari yang berlokasi di Sukabumi Jawa Barat. Selain  tempatnya yang keren, turut campurnya berbagai tulisan atau quote di setiap kemasan minuman, dinding-dinding ruangan menjadi daya tarik tersendiri sehingga tidak heran banyak pelanggan yang datang untuk berfoto. Berikut ini beberapa potret aku bersama kakak ku di cafe Di suatu hari  Dengan suasana, makanan dan  minuma...

Bernarasi : Cerpen Disuatu Hari (Mac&Mo)

Sajak-sajak rindu bergantungan pada tembok yang penuh dengan harapan. Iringan musik indie mengiringi setiap hembusan angin yang masuk pada celah jendela kaca kedai kopi di pinggiran kota Sukabumi. Secangkir kopi mocha dituang perlahan bersamaan dengan kopi machiato harumnya pun menghiasi ruangan yang ramai dipenuhi para penduduk bumi. Seorang perempuan duduk di depan kanvas miliknya. Rambutnya yang pendek berwarna hitam menghias wajah bulatnya. Lalu pada   suatu hari “Pesanan atas nama Mocha...” ucap pelayan. Perempuan itu menoleh dengan garis mata yang indah. Senyuman yang bersemayam pada wajahnya membuat hangat seisi ruangan. “Saya...” ucap Mocha. “Satu kopi Mocha untuk nona Mocha tentu saja” ucap pelayan. “Kamu bisa aja. Terimakasih” Mocha duduk kembali ke bangkunya yang dekat dengan jendela. Ia melihat sebuah amplop berwarna cokelat yang diikat dengan tali dari serabut. “Mas... maaf ini punya siapa yah?” ucap Mocha. “Kurang tau mba” ucap pelayan. ...