Langsung ke konten utama

Bernarasi : Cerpen Disuatu Hari (Mac&Mo)


Sajak-sajak rindu bergantungan pada tembok yang penuh dengan harapan. Iringan musik indie mengiringi setiap hembusan angin yang masuk pada celah jendela kaca kedai kopi di pinggiran kota Sukabumi. Secangkir kopi mocha dituang perlahan bersamaan dengan kopi machiato harumnya pun menghiasi ruangan yang ramai dipenuhi para penduduk bumi.
Seorang perempuan duduk di depan kanvas miliknya. Rambutnya yang pendek berwarna hitam menghias wajah bulatnya. Lalu pada  suatu hari

“Pesanan atas nama Mocha...” ucap pelayan.

Perempuan itu menoleh dengan garis mata yang indah. Senyuman yang bersemayam pada wajahnya membuat hangat seisi ruangan.

“Saya...” ucap Mocha.
“Satu kopi Mocha untuk nona Mocha tentu saja” ucap pelayan.
“Kamu bisa aja. Terimakasih”

Mocha duduk kembali ke bangkunya yang dekat dengan jendela. Ia melihat sebuah amplop berwarna cokelat yang diikat dengan tali dari serabut.

“Mas... maaf ini punya siapa yah?” ucap Mocha.
“Kurang tau mba” ucap pelayan.

Mocha pun mengambil surat itu. Sebuah tinta hitam bertuliskan Machiato terdapat pada depan amplop. Ia pun membukanya...

“Untuk Mocha”
Dua kata misterius ini terus membuat Mocha terngiang dengan rasa penasaranya. Tatkla Mocha sedang memandangi surat itu, laki-laki dengan kemeja putihnya menghampiri Mocha.
“Hai sayang. Sorry yah. Aku tadi ada rapat dadakan” ucap laki-laki tunangan Mocha bernama Chiko.
“Iyah gak apa-apa” ucap Mocha.
“Itu surat?”
“Iyah tapi gak tau dari siapa, Iyahudalah gak penting”
“Okeh...tapi kalo isi suratnya kurang ngajar bilang aku yah?”
“Iyah”

Seperti dua unsur berbeda yang menjadi satu. Tak selaras tetapi kombinasi yang cukup pas setidaknya itulah yang dapat disimpulakan dari hubungan Mocha dan Chiko. Tapi bukankah memang begitu? Yang selaras bukan berarti pas dan tepat. Terkadang yang tepat pun tak tepat untuk dimiliki. Yang tak selaras bisa jadi pas dan sama-sama tepat untuk dimiliki. Rencana Tuhan memang tidak ada yang tau. Kali ini sepertinya ketidak tepatan sedang menyoroti Mocha dan Chiko.
Disuatu malam di tengah gempitanya kota Sukabumi. Mocha duduk dan memainkan kuas miliknya hingga seorang perempuan keturunan Inggris Pakistan menghampirinya dengan balutan baju berwarna putih dan hitam.

“Mocha..” ucap Ibu Edlys
“Tante..Ada apa?” ucap Mocha.
“Ada baiknya kamu tidak berharap lagi. Chiko sudah tante jodohkan”

Mocha hanya diam tak  bisa berucap sedikitpun hingga Ibu Edlys meninggalkanya. Mocha hanya diam dalam kebingungan. Hujan menutupi setiap kesedihanya malam itu sampai Sang Pelangi pun datang.

“Chik..mungkin Semesta dan Ibumu lebih mengerti ketimbang kita, Sepertinya kata berjuang pun akan segera selesai untuk disematkan” ucap Mocha.
“Sedikit lagi. Tunggu aku Mo”
“Sedikit lagi itu sampe kapan batasnya Chik? Aku tanya sama kamu”

Tidak ada jawaban dan batas yang pasti. Rasa bersalah menyeliputi Chiko. Mereka berdua pun sibuk menatap hujanya masing-masing. Sibuk menata hatinya. Sebuah rasa abstrak meronta pada jiwa keduaya yang tak tau arah pulang. Hingga suatu hari

“Mo hari ini aku akan kasih tau kamu batasnya” ucap Chiko.
“Chik setidaknya berikan sedikit kesan manis meskipun aku tau jawabanya tidak akan semanis itu” ucap Mocha.

“Kita yang telah melihat langit yang sama selama tiga tahun lamanya tetapi sepertinya Semesta tidak memberikan kesempatan itu mulai tahun ini hingga seterusnya. Terimakasih Mocha tapi aku gak bisa ngecawain Ibu. Tidak bisa juga terus menyakiti kamu”

“Setelah setiap detik yang aku miliki dan aku berikan untuk kamu. Hasilnya tidak terlalu sia-sia yah Chik! Setidaknya aku bisa merasakan ribuan cangkir kopi mocha hangat yang kamu berikan”

            “Chik..” ucap seorang perempuan berambut panjang yang menghampiri Chiko dan Mocha dengan dress panjangnya. Perempuan itu bernama Acha. Menarik tangan Chiko dan pergi perlahan meninggalkan Mocha seorang diri. Baru dua langkah mereka berjalan. 

   Mocha berkata “Tidak memiliki kamu bukan akhir bagiku Chik” menahan  isak tangis.

            Ketika kesedihan sedang menyoroti Mocha. Kebaikan pun menghampirinya. Mocha yang duduk di tengah kebun bunga matahari. Memainkan kuasnya yang bekerja tak tau arah. Hingga sebuah pesawat kertas jatuh tepat dikakinya.

            “Kamu adalah anugrah dari Tuhan, tersenyumlah setidaknya untuk dirimu sendiri, Mocha.” Isi yang tertulis di kertas pesawat itu. Seorang laki-laki muda nan tampan dengan rambut gondrongnya berjalan menghampiri Mocha lalu berkata

            “Machiato..” seraya mengulurkan tanganya.
            “Mocha..Aprillya” seraya menjabat tangan Machiato.

Angin tak hanya menggerakan bunga matahari dan menggugurkan setiap dedaunan dari pepohonan tapi juga menggerakan hati Machiato untuk berani menemui Mocha.

“Kamu yang nulis surat waktu itu?” ucap Mocha.
“Iyah..mungkin kamu merasa risih, saya minta maaf” ucap Machiato.
“Gak apa-apa”

Perjumpaan yang telah dinantikan Machiato dan yang tidak pernah diharapkan oleh Mocha menjadi perjalanan baru untuk mereka memulai. Mulai menikmati Semesta bersama atau bahkan mulai melupakan sajak-sajak kelam dari masa lalu bagi Mocha.
Di suatu hari awan yang bergerak menemani sorenya Mocha yang sedang membaca setiap sajak-sajak puisi yang dibuat Machiato untuknya. Machiato berjalan membawakan dua gelas kopi. Mereka menikmati kopi dibawah langit jingga Sang Semesta.

“Mo.. kamu tau filosofi dari kopi Machiato?” ucap Machiato.
“Engga, emangnya apa?” ucap Mocha.
“Sendiri atau berdampingan hidup sepatutnya tetap penuh arti”
Mocha hanya terdiam.
“Mo...tapi kali ini biarkan hidupku lebih tetap punya arti dengan berdampingan. Dan biarkan manisnya kopi mocha. Tidak kamu nikmati sendirian. Setiap orang bahkan benda sekalipun punya pesannya masing-masing, termasuk kamu, kamu adalah salah satu mahakarya yang Semesta kirimkan”
“Mac.. jika cinta itu berwujud akan kamu panggil apa dia? Kalo aku? Aku akan panggil dia dengan namamu, karena kamu tau. Cinta yang berasal dari hati bisa dilihat dari seberapa besar yang kamu usahakan, berikan dan korbankan, sajak-sajak puisi ini udah cukup buat aku. Mulai hari ini. Mari kita liat langit yang lebih indah lagi. Dengan terus bergenggaman”

Semesta selalu punya kejutan-kejutan kecil ataupun besar untuk penduduk bumi
setiap harinya. Namun, hal terpenting adalah bagaimana melewatinya dengan baik. Baik dengan senyuman atau pun tidak tetapi terus menatap langit dengan harap adalah salah satu cara terbaik.
Hari ini senja, hujan dan semburan ombak Sang Semesta. Menjadi penutup dari pertemuan Mo dan Mac. Mereka sibuk menyampaikan pesan. Sibuk menatap dan melukiskan hal-hal pait dan manis seperti yang tertuang pada secangkir kopi. Mereka sibuk memadukan setiap rasa dan hal-hal yang terjadi.
Nama siapa yang terukir di secangkir kopimu? Ketika pagi, siang, dan senja menyapa? Biarkan hatimu yang menjawabnya.

                                                Selesai.

 Telah diterbitkan dalam Buku Analogi Dari Hati by Sahabat Literasi 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mini Cafe Di Suatu Hari

Bersatunya Mini Cafe dan Studio sumber :  https://www.instagram.com/di.suatu.hari/ Hai, Readers!  Di zaman sekarang ini banyak sekali cafe-cafe atau tempat-tempat makan yang memiliki design kekinian untuk meningkatkan ketertarikan pelanggan. Bagi teman-teman gen Milenials pastinya kegiatan berfoto menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan ketika sedang berkegiatan salah satunya saat kumpul atau nongkrong di sebuah cafe.     Salah satunya cafe yang membuat Aku jatuh cinta pada pandangan pertama yaitu,  cafe disuatu hari yang berlokasi di Sukabumi Jawa Barat. Selain  tempatnya yang keren, turut campurnya berbagai tulisan atau quote di setiap kemasan minuman, dinding-dinding ruangan menjadi daya tarik tersendiri sehingga tidak heran banyak pelanggan yang datang untuk berfoto. Berikut ini beberapa potret aku bersama kakak ku di cafe Di suatu hari  Dengan suasana, makanan dan  minuma...

Bernarasi : Cerpen Senandung Hujan

Suara rintik air hujan berdendang di sore hari tatkala senja menghampiri. Awan hitam menutup hamparan langit jingga Sang senja yang dikagumi oleh Kanaya. Kanaya berdiri menghadap jendela rumah bersama secangkir teh dalam genggamanya.   Kanaya menatap hujan. Bola matanya yang berwarna hitam memancarkan sendu tak berwarna. Pancaran mata yang memikirkan hal yang mengusik pikiranya. Ia menatap hujan yang digemari manusia-manusia di muka bumi. Hujan yang berisi harapan, kebahagian dan kesejukan bagi mereka yang senang terhadapnya Namun, bagi Kanaya suara itu berbeda. Bagi Kanaya hujan adalah histori yang mendekap dalam hati yang ingin dilupakan. Jika setiap rintik air hujan itu bisa dibuat tak bersuara maka Kanaya akan lakukan hal itu.   Namun, Kanaya tak dapat menahan hujan. Tatkala hujan berhenti gadis   berambut ikal dengan wajah tak berekspresi ini pun berangkat menuju perpustakaan   kampus. Ia adalah salah satu mahasiswi jurusan kedokteran di Universitas adi...